Bahan Bakar Nabati Pengganti BBM

SUATU saat, bahan bakar fosil yang ditambang dari perut bumi akan habis. Setidaknya itu yang dimaksudkan Joao Alvarez Jr., seorang petinggi di pabrik VW Brasil. Dia menangani produk kendaraan yang bisa menggunakan berbagai jenis bahan bakar (fleksibel).

Tak heran jika penggunaan bensin di Brasil disubstitusi dengan etanol yang dihasilkan dari tanaman tebu. Kesadaran akan habisnya BBM fosil menyadarkan seluruh warga Brasil untuk berhemat dan mencari bahan bakar dari sumber lain.

Memang diperlukan suatu teknologi otomotif yang memungkinkan penggunaan etanol secara murni agar kinerja kendaraan tetap prima meski tak lagi menggunakan bensin premium. “Di Brasil ada flexy car sehingga bisa menggunakan bensin dan juga bioetanol 100%,” ujar Dr. Ir. M. Arif Yudiarto, M.Eng., Kabid Teknologi Etanol dan Derivatif Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) – BPPT Lampung, saat pelatihan pembuatan bioetanol di Cimanggis, Depok, akhir pekan lalu.

Dari sisi bahan baku, Indonesia sebenarnya memiliki sumber yang berlimpah dan beragam. Dengan demikian, produksi etanol dari bahan alami (bioetanol) dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan baku di daerah setempat. Menurut Arif, bahan pembuat karbohidrat bisa menggunakan bahan dasar gula semacam gula, molases (tetes tebu), nira. Ada juga bahan dasar karbohidrat atau pati, yang berasal dari singkong (ubi kayu), ubi manis (ubi jalar), hingga selulosa.

Memang tak dapat dipungkiri, kendala mendasar dari penerapan bioetanol di Indonesia belum adanya kendaraan bermotor yang bisa mengadopsi bioetanol hingga 100% seperti negara Brasil. Kalaupun ada, saat ini baru sebatas mencampur bensin dengan etanol pada rasio campuran 90% bensin dengan 10% etanol atau 80% bensin dengan 20% etanol. “Jika menggunakan etanol murni, dikhawatirkan akan melarutkan karet-karet seal klep, tetapi untuk kendaraan di atas tahun 2000 bisa menggunakan bioetanol,” tutur Arif.

Seandainya hendak menggunakan campuran bensin etanol (bensol) 10% atau 20%, tak ada modifikasi tertentu pada mesin kendaraan, selain mengatur sistem pengapian agar waktu pembakaran tepat. Jika kita melihat sejenak ke sejarah pembuatan mesin mobil, Otto dan Henry Ford mencoba mesin mobil generasi pertama dengan menggunakan bahan bakar bioetanol berkadar 99% (fuel grade ethanol). Pada saat itu belum dikenal bensin yang diperoleh dari pengolahan minyak bumi.

Bioetanol dalam bentuk lain adalah spirtus, yaitu cairan berwarna biru yang digunakan untuk menyalakan lampu tekan (petromaks). Etanol yang digunakan berkadar 70% dan diberi warna karena etanol asli tidak berwarna alias bening.

**

KEUNTUNGAN dari penggunaan bioetanol adalah adanya unsur oksigen sehingga emisi gas karbon monoksida (CO) pada kendaraan bensin turun drastis. Namun, keberadaan unsur oksigen itu menyebabkan etanol bersifat korosif.

Meskipun demikian, adanya “sumbangan” oksigen membantu proses pembakaran dalam dapur pacu bisa berlangsung sempurna. Kalau sudah begini, power atau tenaga yang dihasilkan jauh lebih tinggi. Lihat saja unsur kimia etanol adalah C2H5OH, sedangkan bensin hanya mengandung unsur karbon dan hidrogen (C6H6).

Campuran bensin etanol juga bisa mendongkrak angka oktan bensin premium. Angka oktan (RON) etanol adalah 117, sedangkan RON bensin premium adalah 88. Jadi jika menggunakan campuran 10% etanol, angka oktan bensin menjadi (90% X 88) + (10% x 117) = 90,9, sedangkan angka oktan jika menggunakan campuran 20% etanol menjadi 93,8.

Berdasarkan analisis biaya, ambil saja etanol dari singkong. Setiap 6,5 kg singkong menghasilkan 1 liter bioetanol. Harga jual bioetanol adalah Rp 6.000,00/liter, sedangkan biaya kotor produksi sekitar Rp 3.400,00/liter. Biaya produksi ini terdiri dari penggunaan bahan baku, enzim, ragi, upah kerja, bahan bakar kompor, dan lain-lain. Jadi ada selisih keuntungan kotor Rp 2.600,00/liter.

Jika menggunakan campuran bensol 10%, berarti untuk setiap liter bensol memerlukan anggaran (90% X Rp 4.500,00/liter bensin) + (10% X Rp 6.000,00/liter etanol) = Rp 4.650,00. Memang ada kenaikan harga Rp 150,00/liter, namun jika kuota subsidi BBM premium tahun ini 17 juta kiloliter, penggunaan 10% campuran etanol akan mengurangi subsidi menjadi 15,3 juta kiloliter atau berkurang 1,7 juta kl.

Dengan asumsi harga subsidi premium Rp 1.421,00 hingga Rp 3.639,00 setiap liter, ada penghematan anggaran sebesar Rp 2,42 triliun hingga Rp 6,19 triliun. Lumayan kan. Nah anggaran itu bisa digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk mendorong tumbuhnya industri bioetanol berbasis potensi daerah. Kalau sudah begini, tak perlu PT Pertamina mengangkut BBM ke Papua yang menyebabkan harga jual bensin lebih tinggi. Cukup mengolah sagu atau jagung yang tumbuh subur di Papua.

0 komentar:

Posting Komentar